Kapal
tambang besar yang memuat puluhan penumpang membawa kami menyusuri sungai
besar. Melaju, sesekali oleng ke kiri dan ke kanan. Sibuk membelai sungai
pasang dengan nyanyian mesin.
Deretan
pohon karet mengantar perjalanan. Petani jagung turut mengusik perhatian kami.
Kebun hijau menyentuh selaput mata. Sesekali terselip nyanyi burung di atas
akasia gundul.
Desa
Jangkang , sebuah desa di antara Sungai Kapuas dengan penduduk yang mayoritas
terdiri dari transmigran asal Pulau Jawa. Desa ini menjadi tujuan kami. Desa
yang akan kami huni dalam waktu dua bulan. Desa yang akan menjadi tempat kami
mengabdi sebagai mahasiswa.
Bangunan
bekas puskesmas ini bukan hanya menjadi tempat berlindung dari panas dan hujan,
tetapi juga sebagai tempat menyatukan hati satu sama lainnya. Di tempat mungil
yang telah menjadi rumah bagi kami, menjadi markas kebesaran kami selama dua
bulan.
Bangunan
mungil ini terasa indah karena kebersamaan, kamar sempit serta pengap tak
begitu hirau karena kebersamaan adalah lebih indah dibandingkan kamar luar
berfasilitas AC, dinding warna warni cerah, lantai keramik, ruang dapur mewah,
shower di kamar mandi, dan sebagainya.
Awalnya
terasa aneh, hidup bersama dengan orang-orang yang belum begitu di kenal,
kecuali dalam lingkup kampus. Lambat laun, semakin hari kami semakin dekat dan
seakan seperti satu keluarga.
Pagi
itu, tepatnya pagi minggu cuaca lumayan cerah. Matahari menampakkan raut
gembiranya tepat di depan posko kediaman kami. Sayang jika hari ini
dilewatkan hanya dengan duduk menatap
laptop, berguling di kamar, atau mendengarkan musik. Kami berencana untuk
mengisi waktu senggang ini dengan jalan-jalan.
Rencana
yang cukup menyenangkan, namun alangkah sayangnya kami mengalami kendala. Tak
memungkinkan untuk kami mewujudkan rencana itu. Sembilan orang tak mungkin di
bawa dengan tiga motor. Awalnya hanya ada dua motor, satu motor berhasil di
pinjam dari tetangga.
Akhirnya
lima orang dari kami berangkat. Dengan berat hati terpaksa mengizinkan para
pria untuk menggunakan kesempatan jalan-jalan tersebut. Tinggallah empat orang
wanita di posko mungil ini.
Hampir
seharian mereka tak kunjung pulang. Senja sore memanggil dengan awan jingga di
ufuk barat. Yang paling membuat suasana semakin keras adalah tetangga kami yang
motornya di pinjam pergi menagih ke rumah. Katanya mereka telah berjanji akan
mengembalikan motor tersebut sebelum jam empat sore karena motor itu akan di
bawa oleh anaknya.
Kami
sibuk menghubungi mereka, menelpon, sms. Namun jawaban mereka sangat tidak
menyenangkan. Kami diminta membujuk Ibu Kadir ,nama tetangga kami itu agar
menunggu beberapa jam untuk mengembalikan motor tersebut. Mereka belum bisa
pulang dengan alasan bertemu dengan Camat Kubu serta Dosen pemantau kami.
Mereka di tahan untuk berkunjung ke rumah Pak Camat. Inilah puncak kekesalan
kami.
Waktu
berjalan sampai akhirnya mereka datang membawa raut wajah seakan tertangkap
basah sedang menyembelih ayam tetangga.
Membujuk, merayu, memelas. Tanpa senyum dan kata sedikitpun kami berlalu
menyisakan kesal dan sesal di antara mereka.
Membawa
rasa geram yang tak terlampiaskan kami berjalan lurus ke arah kiri posko. Tanpa
ragu kami berhenti di sebuah rumah di samping kantor Kepala Desa. Rumah
keluarga bapak Saridi. Di sana spontan kami di sambut dengan antusias oleh ibu
Upi, istri dari Bapak Saridi. Keluarga itu tampak senang kami datang
berkunjung, karena setelah beberapa hari menempati Jangkang baru hari itu kami
sempat menyambangi rumah mereka. Sebelumnya kami sempat berkenalan dengan
mereka pada saat kunjungan ke Sekolah Dasar yang terletak di sebelah kanan
rumah Bapak Saridi dan Ibu Upi. Keduanya adalah tenaga pengajar di Sekolah
Dasar Negeri tersebut.
Sambil
menyeruput teh serta roti gandum, kami semua berbincang dan saling bercerita.
Sampai beberapa saat kemudian terdengar suara motor yang tak asing dari luar. Ketua
kelompok kami Ipank bersama dengan suhardi menyusul kami dengan raut wajah
memelas. Mereka membujuk kami untuk pulang ke posko.
Kami
sengaja tak menghiraukan mereka, agar mereka tak mengulangi perbuatan itu lagi.
Meninggalkan empat orang perempuan di posko, yang kebetulan pada saat itu
sedang hangatnya cerita angker.Sedangkan mereka bersenang-senang di luar sana.
Mereka berdua pulang dan berpesan untuk tidak pulang terlalu malam.
Sekembalinya
kami ke posko, suasana masih menggambarkan raut-raut wajah bersalah. Terlebih
dengan membawa berita mereka disuguhi makanan enak di rumah Pak Camat. Dengan
foto-foto mangkuk penuh kepiting. Mereka berjanji akan menebus kesalahan mereka
untuk membawa kami jalan-jalan.